Melawan Diri Sendiri di Titan Run

Pukul 5.30, para peserta Titan Run 2016 sudah memadati garis start. Peserta 17.8K beriringan melaju melewat garis start. Tinggal lah kami yang berada di kategori 10K dan 5K. Entah mengapa saya merasa sedikit gugup. Mungkin karena sudah membuat target kepada diri sendiri untuk mencetak waktu lebih baik dari MILO Jakarta International 10K Run.  Ada juga target lebih besar: Berlari tanpa henti sepanjang race.

Setelah menunggu 15 menit, tiba giliran kami yang berada di kategori 10K. Harusnya rasa tegang sedikit berkurang karena latihan dua hari sebelumnya saya menyelesaikan 2x5K waktu latihan Kelabang di GBK. Tetapi jika mengingat latihan kemarin, saya lumayan ngos-ngosan dan takut di race ini akan seperti itu juga. Akhirnya saya membuat komitmen di race ini untuk bisa tetap stabil. Tidak perlu cepat tapi stabil.

Kenali diri sendiri dan berlari sesuai level

5..4..3..2..1..

Mulai!

Perserta 10K mulai berhamburan melewati garis start. Mereka melaju cepat dan satu persatu mulai meninggalkan saya, termasuk teman yang waktu itu bersamaan di garis start. Di sini pertarungan di mulai. Bukan pertarungan mereka, tetapi pertarungan dengan diri sendiri. Bagaimana bisa menahan diri untuk tetap stabil tanpa ikut bernapsu menjadi yang tercepat. Kembali mengingat kemampuan sendiri. Saat latihan pace santai saya di 8, terkadang di 7. Maksimal di 6. Tapi titik maksimal ini tidak mungkin saya lakukan di race 10K. Bisa-bisa 3K pertama sudah kehabisan napas.

Mulai mengingat lagi kenapa saya ada di sini? Mencari tahu kemampuan diri sendiri. Karena tahu pace maksimal dan minimal maka saya konsisten pada pace sendiri. Jika saya mengikuti pace orang lain, tamat. Kadang ego muncul untuk berlari cepat seperti yang lain, tapi buru-buru ditekan. Saya akhirnya tahu tantangan terbesar saat berlari itu memang diri sendiri. Saya kan bukan atlet yang berlari untuk mengejar podium. Saya adalah pemula yang ikut race untuk berlatih dan menambah pengalaman. Apalagi 3 minggu lagi sudah Maybank Bali Marathon (MBM) 21K. Kalau 10K saja tidak bisa mengendalikan diri sendiri, bagaimana nanti di race yang lebih panjang?

Menutup mata, mendengar tubuh

Untuk bisa fokus saya mencoba untuk bermain dengan pikiran sendiri. Biarkan orang lain melaju pada pace-nya. Jika saya ikut terbawa mereka saya tidak akan menyelesaikan target di awal, yaitu full lari 10K. Jujur saja, setiap berlari masa terberat saya justru di 2KM pertama. Ada teriakan “Gue resign!” atau “Ini terakhir!” di dalam hati. Ini tantangan terbesar. Kemudian kembali melawan tantangan ini dengan “Apapun yang mau dilakukan saya, selesaikan ini dulu!”. Hanya run..run..run..

Membuat target bisa mencapai 5K. Jika sudah berada di 5K boleh lah menginstirahatkan untuk berjalan. Saya melirik angka pada run apps dan sial sekali karena appsnya seperti error. Sudah 2K tapi masih tercatat 1K. Yasudah abaikan saja. Di akhir race juga kita bisa melihat catatan waktunya.

 

Akhirnya kaki ini mencapai di 3K. Ternyata di titik ini tubuh mulai panas dan kaki seperti bergerak otomatis. Langkah saya yang lambat mulai menyusul yang sudah mendahului di awal. Bukan karena lari saya cepat, tetapi mereka yang melambat. Tidak perlu cepat tapi stabil ternyata mulai membawa hasil.

Kemudian 5K. Target di awal saya mulai bisa melonggaran kaki di 5K tapi apa yang terjadi? Justru kaki sedang asik-asiknya. Kalau saya berhenti maka akan susah lagi untuk memulai. Saya mengingat saat tersulit itu ada di 2K pertama jadi akhirnya target 5K ini cancel..cancel..cancel..

Selesaikan apa yang sudah dimulai

Setiap mulai merasa lelah saya mendongak ke atas dan menghirup napas panjang. Ternyata ini lumayan membantu. Saat berpikir menyerah kemudian mengingat lagi: Selesaikan dulu apa yang sudah di mulai.

Di kilometer ke-8 kaki mulai terasa lebih lemah dan lari sedikit melambat (padahal larinya juga sudah lambat). Apapun yang terjadi lari. Biar lambat tapi lari. Saya kembali mengingat kata Ko Willy Sanjaya bahwa untuk tahu apakah kita masih sanggup lari yaitu dengan memperhatikan tangan. Jika tangan kita masih sanggup mengayun, tandanya kita masih sanggup berlari. Saya mencoba mengayunkan tangan dan ternyata masih dengan kuat mengayun. Beberapa kali ngomong ke kaki “Jangan manja, deh!”.

1K terakhir ternyata kaki ini masih sanggup melangkah meski makin goyah. Saat melihat garis finish saya berimajinasi ada sosok Brad Pitt dengan teriakan “Sayang, sini peluk!”. Saya pun berlari sekencang-kencangnya. Biar keren juga pas diliat yang dipinggir race. Tapi gak ada yang liat juga sih. Berani lari kencang karena di 100m terakhir, hehe..

Jujur saja saya puas. Puas banget karena berhasil berlari Full 10K. Meski catatan waktu di bawah Milo kemarin. Ini bukan soal angka tapi soal belajar mengendalikan diri sendiri. Akhirnya bisa melampaui tantangan hari itu dengan tetap berlari stabil. Tantangan berikutnya di 21K bagaimana? Saya juga belum tahu.

Kita tidak pernah tahu jika tidak memulai. Dan ketika memulai, selesaikan..

Para pelepas virgin full 10K tanpa jalan
Run For Indonesia di Titan Run

DOMS dan Recovery Otot Setelah Berlari dengan Yoga

Lari memang menyenangkan. Tapi kalau setelah lari paha terasa sakit-sakit lumayan menyebalkan. Waktu Juni kemarin -saat pertama kali mulai rajin lari- esoknya terasa paha mengencang. Saya berlari sekitar 6-8K. Tidak tahu jarak tepatnya karena belum menggunakan running track apps. Padahal saya merasa tidak ada masalah saat malamnya. Sempat amazed karena kok tidak terasa sakit-sakit. Waktu itu saya agak skip untuk melakukan cooling down yang proper karena mau buru-buru pulang. Selain sedang bulan Ramadan, pagi sekali sudah harus ke Senopati untuk mengajar yoga. Hingga sampai di rumah saya tidak merasakan hal aneh pada tubuh. Merasa masih segar bugar dan tidak terasa sakit. Hanya pegal-pegal saja dan sepertinya ini wajar.

Saat bangun tidur pun masih terasa nyaman, hanya memang mata lebih sepet karena baru tidur sebentar. Jam 4 pagi sudah bangun lagi untuk sahur, padahal jam 12 malam baru memulai tidur. Saat di studio mulai terasa tegang pada bagian paha. Apalagi untuk melakukan yoga paha saya lebih tertarik. Mana waktu itu saya sedang diliput dua media jadi sakit-sakitnya rada ditahan. Lumayan kurang nyaman karena pergerakan lebih terbatas. Naik turun tangga pun terasa lebih sakit. Ya, saya terkena Delayed Onset of Muscles Soreness (DOMS). Ini biasa terjadi saat setelah olahraga, meskipun bisa dihindari jika stretching pemanasan dan pendinginannya tepat. Karena dengan pendinginan maka kita menurunkan kembali kadar asam laktak dalam tubuh kita yang meningkat saat berlari, yang bisa menyebabkan rasa tegang dan nyeri pada otot setelah berlari atau melakukan latihan berat.

KENAPA TERASA SAKIT SETELAH LARI?

DOMS ini bisa terjadi saat otot kita berkerja lebih ekstra dari zona aktivitas rutin, misalnya mencoba program latihan baru atau meningkatkan durasi saat latihan sehingga otot tubuh. Tubuh kita ini memang selalu memberi signal ketika terjadi sesuatu. Jadi saat otot kita bekerja dalam kapasitas lebih dari biasanya atau beberapa gejala perubahan lain maka memungkinkan untuk terjadi kerusakan mikoskopik pada serat otot yang menyebabkan ketegangan pada otot. Rasa nyeri ini memang tidak langsung terasa tetapi bisa terjadi sehari atau dua hari berikutnya makanya disebut DOMS.

Karena saya memang rutin yoga maka untuk stretching pun tetap menggunakan teknik yoga, yang menurut saya teknik stretching yang paling proper. Karena pose yoga memaksimalkan peregangan otot dan membuat otot lebih relaks dengan bantuan tarik dan hembusan napas yang tepat.

YOGA POSE UNTUK MENGHINDARI DOMS SETELAH LARI

Stretching setelah berlari selain untuk mencegah ketegangan pada otot juga membantu untuk membuat otot-otot tubuh kita lebih sehat dan kuat. Yoga setelah lari membantu menstimulasi aliran darah dan oksigen di area otot dan tubuh secara keseluruhan. Banyak yang bilang repot yoga setelah berlari karena harus membawa matras. Saya juga tidak akan mau repot seperti itu. Kan niatnya mau lari, bukan yoga. Tapi saya membutuhkan stretching untuk recovery otot setelah lari. Jadi saya memilih gerakan yoga untuk meredakan ketegangan pada otot setelah berlari tanpa harus membutuhkan mastras. Gerakan ini saya fokuskan untuk otot dan persendian di area kaki, lowerback, dan pinggul karena di area ini biasanya otot banyak bekerja saat berlari.

Forward Bending Pose (Paschimottanasana)

Forward Bend For Stretches Legs and Back

Duduk dengan santai dengan posisi kaki lurus secara horizontal dan punggung lurus secara vertikal. Angkat tangan ke atas lalu hembuskan napas perlahan dengan mengangkat tangan ke atas. Kambali tarik napas dan turunkan punggung kea rah kaki dengan kedua tangan lurus sejajar dengan telinga saat membuang napas. Raih jari kaki (atau apit jempol kaki dengan jari-jari kaki) dan tarik ke arah dalam. Tahan di posisi maksimal yang bisa dijangkau. Lakukan sebanyak 5 kali hembusan napas dan ulangi sebanyak 2 kali.

Bound Angle Pose (Baddha Konasana)

1470112116080

Teknik stretching ini sepertinya sudah sangat familiar. Hanya masalah istilah saja. Duduk dengan kedua telapak tumit kaki menyatu. Jari-jari dari kedua tangan saling mengapit dan pegang telapak kaki dari arah jari-jari kaki. Biarkan pangkal paha beradaptasi dengan up-and-down lutut dengan cepat. Kemudian usahakan lutut untuk lebih turun ke arah lantai. Tarik napas yang dalam dengan memanjangkan dagu dan punggung ke atas maka kemudian turunkan punggung ke arah lantai dengan posisi punggung tetap lurus saat menghembuskan napas. Jika memiliki fleksibilitas yang cukup, taruh kening di bawah. Yang perlu diperhatikan, bokong tidak naik ke atas. Tahan sebanyak 5 kali pernapasan yang dalam. Kemudian kembali ke posisi semula dan ulangi lagi sebanyak 2 kali.

Downward-Facing-Dog Pose (Adho Muka Svanasana)

1470112173337

Awali dengan Table Pose, yaitu kedua telapak tangan pada lantai. Perhatikan bahwa posisi kedua telapak tangan dan kedua bahu dalam satu garis lutus. Kedua lutut sejajar dengan pinggul. Jari kaki kuda-kuda pada matras. Tarik napas dan angkat lutut hingga kedua kaki lurus saat menghembuskan napas. Saat ini kaki masih dalam posisi jinjit. Tarik napas lagi dan saat menghembuskan napas turunkan tumit dengan perlahan ke arah lantai hingga telapak kaki posisinya flat. Turunkan kepala dan lihat ke arah perut. Rasakan area tangan, punggung, dan otot kaki bagian belakang stretched. Tahan sebanyak 5 kali pernapasan.

Warrior 1 Pose (Virabhadrasana)

Preparation
Preparation

Saat posisi Downward Facing Dog, angkat satu kaki ke atas setinggi mungkin dengan posisi lurus. Tahan dulu sampai 5 kali pernapasan.

Warrior 1 Pose
Warrior 1 Pose

Setelah itu tekuk lutut kaki yang dinakikan dan turunkan ke bawah dan diayunkan kea rah depan hingga telapak kaki di antara kedua tangan. Lihat ke arah depan hingga punggung lurus. Angkat kedua tangan ke atas dan satukan telapak tangan, tanpa mengubah posisi kaki yang di depan (siku-siku). Jika posisi pinggul masih di atas bantuk untuk lebh diturunkan lagi hingga paha lurus. Kaki yang di belakang lurus, tanpa menekuk. Tahan hingga 5 kali pernapasan dan kembali ke posisi Downward Facing Dog.

Lakukan untuk sisi yang lainnya. Ulangi hingga masing-masing sisi melakukan 3 kali gerakan ini.

Wide-Legged-Forward-Bend  Pose (Prasarita Padottanasana)

1470112441406

Setelah tubuh kembali ke posisi Downward Facing Dog, turunkan kedua lutut ke lantai dan bokong duduk di atas tumit dan pergelangan kaki. Biarkan tubuh sejenak untuk beristirahat. Setelah itu berusaha untuk ke posisi berdiri. Lebarkan kedua kaki dan satukan kedua tangan di belakang. Nikmati stretching di area belakang. Tarik napas dan turunkan tubub ke depan saat membuang napas hingga posisi kepala turun. Tahan hingga 5 kali pernapasan.

Legs-Up-The-Wall Pose (Viparita Karani)

1470112629758

Untuk posisi ini lakukan saat kembali di rumah dan menjelang istirahat atau tidur. Angkat kedua kaki dan sandarkan di tembok. Bisa juga dengan menambahkan bantalan di bawah pinggul. Pejamkan mata dan lakukan deep breathing hingga tubuh dan kepala terasa lebh ringan. Bisa juga sambil mendengarkan lagu yang menenangkan.

Kesulitan melakukan posisi ini? Ajak saya latihan bareng hehe..

Namaste!