Hari ini saya pertama kali ke India. Dengan maskapai low cost, saya pun berhasil mendapat tiket PP Indonesia-Bangalore sebesar 5 juta rupiah saja. Syaratnya hanya satu: transit di Changi Airport selama 10 jam. Saya mendapat penerbangan dari Jakarta pukul 09.55. Karena rumah di Bekasi dan berada pada hari kerja, jam 5.15 pagi sudah pergi dari rumah. Saya bukan traveller seperti Arievrahman yang mungkin sudah khatam berpergian sendiri ke mana saja. Dan perlu saya akui inilah pertama kali pergi yang agak jauhan sendirian. Terlebih bagasi dari Changi ke Bangalore tidak pindah secara otomatis, jadi harus dipindahkan manual saat check-in. huft..
Karena untuk mengambil koper harus keluar dulu, jadinya ya gak bisa bebas jalan-jalan di duty-free area yang free wifi itu. Ruang gerak terbatas karena koper yang saya bawa. Ketika itu belum kepikiran dititipin. Ternyata hanya 4 SGD saja!
Untuk dapat bertahan hidup selam 10 jam di Changi, inilah yang saya lakukan:
- Mencari wifi
Era sekarang internet merupakan kebutuhan primer. Minimal jika ada wifi saya bisa texting suami atau teman untuk memberi kabar. Alhamdulillah masih ada yang nyariin. Sekalian bisa ditanya-tanya “What should I do?” karena saya bagai burung kutilang yang lupa pada rumahnya.
Karena saya wanita mandiri yang agak pelit, maka data roaming sengaja saya matikan. Dengan internet juga bisa bertanya APA SAJA pada Pak Google.
“Bagaimana cara mengambil uang via atm di luar negeri?”
“Pertolongan darurat saat sakit gigi kambuh dalam perjalanan”
Sebagai bandara international, Changi ini oke banget. Toilet bersih dan untuk mendapat akses wifi juga mudah. Tinggal nyalakan wifi dan pilih “#WiFi@Changi”. Pilihannya bisa via sms (dengan syarat data roaming diaktifkan dulu) atau via scan password. Saya memilih yang kedua. Setelah scan password maka kode password akan keluar di layar dan bisa kita input saat login wifi di smartphone kita. Sayangnya jika sudah ke luar area putus lagi.
Ya iyalah!
- Membuka jasa foto
Baru duduk sebentar tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang meminta saya mengambilkan gambar pada kamera poketnya. Beliau mengaku dari Aussie. Entah karena saya terlihat ramah atau ibu-ibu memang suka difoto, saya mengambil foto pada beberapa spot berbeda.
Setelah itu ada wanita asal Indonesia yang juga minta difotoin. Wah, mungkin saya memang berbakat jadi fotografer!
Dan saya pun ikutan minta fotoin!
- Tukar uang
Membawa uang cash terlalu banyak sangat beresiko. Jadi lebih baik ambil uang tunai saat di negara tujuan. Sejujurnya memang saya gak prepare uang SGD ini sih hehe..
Dengan bantuan google, saya mencoba mencari tahu cara menukar uang SGD yang praktis. Ternyata tinggal ambil di mesin atm apa saja yang berlogo Cirrus.
Ceritanya gak simple ini sih. Jadi karena sudah jam makan siang dan jam minum obat maka badan lumayan sudah lemas. Apalagi belum makan sejak pagi.
Karena saya bukan pemegang kartu kredit, jadi benar-benar harus memegang uang tunai. Sedangkan saya hanya membawa USD. Karena telat minum obat maka nyeri di gusi saya kambuh dan sakit banget!
Untuk minum obat maka saya perlu membeli minum dan mengisi perut dulu. Untuk dapat membeli minum dan mengisi perut maka saya perlu uang tunai segera.
Saat mencoba ambil uang di atm dengan kondisi badan yang sudah lemah letih lesu, ternyata gagal. Karena lokasi atm di luar jangkauan wifi maka saya harus memasuki area yang masih terjangkau wifi untuk kembali bertanya kepada Pak Google. Ternyata ada yang salah saat saya menekan tombol pilihan pada layar.
Jadi begini. Pertama masukkan kode pin. Kemudian pilih withdrawal, selanjutnya klik saving. Nah tinggal pilih mau pakai bukti pembayaran atau engga.
- Cari Makan
Sumber energi manusia adalah makanan. Tanpa makanan maka akan lemas. Saya memilih café yang ada paling dekat dengan saya saat itu. Tanpa berpikir panjang saya memesan “Chicken Rendang”. Jangan mengharapkan rendang di Singapura akan sama dengan rendang di Indonesia. Beda. Gak ada rasa pedas sama sekali. Seperti ayam dengan bumbu kare. Karena saat itu lapar jadi tetap saya katakan: enak.
Karena sudah makan makan, saya segera minum pain killer yang memang saya bawa dari rumah. Sayangnya reaksinya lumayan lama. Ugh!
- Mencari Pak Darsono
Pak Darsono adalah yang ikut untuk perjalanan YTT Yoga Terapi bersama saya juga. Usianya sudah 70 tahun dan saya pun belum pernah bertemu beliau. Yang saya tahu beliau senior yang sudah berlatih yoga sejak tahun 70-an. Pasti ilmu yoganya sudah sangat banyak. Dengan mengabaikan biaya telepon roaming, saya berusaha menghubungi Pak Darsono ini. Karena Changi luas maka hingga detik saya menulis ini belum bertemu beliau juga.
6. Mencari Coffeeshop terdekat dengan lokasi Check-in
Ini agak lebay karena jarak waktu antara saya sampai coffeshop dan check in ada sekitar 5 jam. Tapi tempat mana lagi yang bisa duduk berlama-lama sambil meminum kopi?
Ya Coffee Shop.
- Ke toilet
Selama di airport sudah dua kali saya setor harian. Pertama di bandara Soekarno-Hatta, kedua ya di Changi ini. Dan selalu setelah menenggak greentea latte.
- Belanja
Bohong. Saya gak kuat jalan-jalan sambil membawa koper. Apalagi efek kerja pain killer belum terasa.
- Belum ada lagi
Ini masih pukul 17.33
…dan baru bisa check-in katanya sekitar jam 19.00. Oh, iya flight saya jam 22.45.
You’re welcome.
(bersambung)
Selanjutnya: “Drama di Bandara Bangalore, Nyaris Nangis”