#IndiaTrip Part 3: Kehidupan di Ashram Sadhana Dhama Bagai Pesantren!

DSC_2508

Perjalanan sendiri ke India ini sebenarnya tidak benar-benar sendiri. Tujuan ke sana adalah belajar. Saya mau mengambil sertifikasi Yoga Terapi di Namaste India School of Yoga . Teman-teman dari Indonesia sudah berangkat duluan ke Hyderabad yang nantinya dilanjutkan di Bangalore.

Programnya adalah 100 jam pelatihan di sekolah formalnya yang terletak di Hyderabad, dan 100 jam di Ashram yang terletak di salah satu daerah pelosok di Bangalore. Saya mengambil program 100 jam di Bangalore. Kata guru yoga saya, guru yoga harus merasakan tinggal di Ashram. Untuk pembentukan mental. Waduh…

Hari rabu pagi tanggal 19 Maret saya sudah sampai di Ashram Sadhana Dhama. Karena perjuangan bertahan hidup 10 jam di Changi dan drama di bandara Bangalore yang nyaris bikin nangis maka perjalanan ke Ashram saya manfaatkan untuk tidur.

Sampai jam 6 pagi tetapi langit masih gelap. Berarti masih ada kesempatan untuk melanjutkan tidur, minimal selama 2 jam. Saya bukan orang yang terbiasa tidur saat matahari sudah terbit. Setelah merasa cukup istirahat, kemudian bergegas mandi dan YOGA.

Menjadi anak pesantren

Karena tujuan ke sana belajar yoga pastinya pola-pola yoga yang selama ini hanya teori langsung dipraktekkan. Yoga bukan hanya sekadar asana (postur tubuh), akan tetapi jauh dari itu. Yoga adalah disiplin mengenai seni dan ilmu hidup.

Namanya juga kehidupan asrama, maka kami pun diberi jadwal ala anak pesantren. Bangun jam stengah 5 pagi. Jam 5 harus sudah mandi dan bersiap memulai aktivitas. Waktu istirahat biasanya pada saat jam makan. Jeda jam makan ke jam belajar dimanfaatkan untuk istirahat sebentar. Paling hanya 30 menit. Hehe..

DSC07741
Latihan asana (postur yoga) setiap pagi dan sore menuju malam

Terus kapan bisa benar-benar istirahat?

Ketika semua jadwal telah selesai. Pukul 21.30 waktu setempat. Tepatnya setelah makan malam. Ini saya manfaatkan untuk tidur karena BESOK BANGUN PAGI!

IMG-20160311-WA0001
Jadwal Harian di Ashram

Mengenal makanan-makanan tradisional India

Saat di Ashram, semua makanan sudah disiapkan. Kita bisa memanjakan perut dan lidah dengan makanan asli India. Semua full vegetarian, jadi tidak ada menu daging. Padahal sudah membawa bekal teri kacang kesana dan akhirnya tidak termakan hehe..

Ada menu yang dapat diterima perut saya dan ada yang tidak. Bumbunya sangat kuat, kadang perut saya seakan ingin menjerit saat memakannya. Saya tidak masalah dengan sayurannya, tetapi ada bumbu yang sangat khas yang belum terbiasa di lidah dan perut. Yang saya suka adalah chapati dan nasi briyani. Yang paling saya tidak suka adalah semua makanan yang memakan bumbu masala.

DSC_2731
Salah satu menu yang diterima perut: Chapati + sayur

Untuk makan pagi saya lebih bahagia. Karena menunya aneka buah dan yoghurt. Karena di sana cuacanya sedang panas maka ini lumayan bikin adem.

DSC_2516
Menu sarapan: mix fruits + yoghurt

Tau gak apa yang paling ditunggu-tunggu saat sarapan?

Garam Chai. Garam artinya panas, chai ini milk tea. Karena susunya fresh maka minuman ini enak banget!

DSC_2482
Minuman favorit: Garam Chai

Makan bersama, cuci sendiri

Ini sudah kewajiban masing-masing. Setiap makan dan minum kita harus mencucinya sendiri. Peralatan makannya semua terbuat dari bahan alumunium. Eh, atau stainless steel ya?

Mencucinya pun unik. Memakai sabut kelapa dan abu gosok. Jadi disini menggunakan bahan-bahan yang alami untuk mengurangi limbah dan polusi. Dari alam kembali ke alam.

Jalan sore tanpa bicara

DSC_2499
Silent Walking di lingkungan luar Ashram

Setiap jam 17.30 waktunya untuk silent walking. Berjalan kaki untuk melihat lingkungan tetapi tidak bicara. Ada tekniknya juga. Tarik napas tiga hitungan, buang napas 6 hitungan. Biar teratur, saya menggunakan satu hitungan berarti satu langkah.

Saat diam, kita bisa aware dengan lingkungan sekitar. Mendengar suara alam dan menyatu di dalamnya.

Hari pertama dan kedua berhasil. Hari selanjutnya: Jalan-jalan sambil ngobrol.

Mengurangi mengeluh

DSC_2483
Bertiga dalam satu kamar

Mungkin karena terbawa lingkungan, mengeluh lumayan sudah diminimalisir. Jadi bisa lebih menerima. Jika dipikir-pikir saat di sana itu sedang panas-panasnya. Tapi kita di sana tanpa AC. Hanya kipas baling-baling yang ada di langit-langit. Terkadang listrik mati jadi kipaspun tidak di dapat. Tapi ya dinikmati saja. Kalau di Indonesia pasti udah ngeluh gak karuan.

Belum lagi masalah susah signal. Ya diambil hikmahnya saja. Mungkin biar lebih fokus belajar. Uhuk!

Bersahabat dengan hewan

DSC07443

Jadi hewan di sana tidak melulu dikurung. Ada waktunya mereka dilepas. Ada waktunya kembali ke kandang. Suara burung gagak sudah mengisi hari-hari. Ya, burung gagak pun terbang bebas di sini. Hewan-hewan tersebut memakan sisa makanan dari kami. Jadi semua makanan ditampung dalam ember dan nantinya akan dimakan para hewan itu. Karena semua vegetarian maka sisa makananya juga sayur, karbohidrat, dan kacang-kacangan. Sampai sekarang saya belum tahu apakah anjing dan kucingnya di sana vegetarian juga?

(bersambung)

Selanjutnya: Pengalaman Detox yang Huwow!

 

#IndiaTrip Part 2: Drama di Bandara Bangalore, Nyaris Nangis

Akhirnya sampai bandara Bangalore (Bengaluru), India. Setelah 4 jam dalam perjalanan dan 10 jam bertahan hidup di Changi. Tapi karena perbedaan waktu Singapore dan Bangalore sekitar 2 jam jadi sampai di sana jam 1 malam. Saya dari Singapore jam 10.45 dengan hitungan waktu setempat.

Dari rumah Bekasi jam 5.15 pagi pada hari sebelumnya. Jadi saya sudah menghabiskan waktu seharian. Rasa lelah dan lapar menghampiri. Rasa senang juga dan terharu akhirnya bisa menginjakkan kaki di Bangalore. Telepon selular kehilangan koneksi dan belum tersambung wifi. Saya belum bertemu Pak Dharsono juga.

Gagal Lolos imigrasi

Setelah form imigrasi selesai diisi, saya melajutkan mengantri imigrasi. Saya menyerahkan passport + Visa dan Form Imigrasi. Tidak ada muka ramah pada petugasnya. Seperti penuh curiga. Ya, mungkin ini karena jam 1 malam. Dia mungkin sudah mengantuk juga. Tapi aku juga lelah pak..

Saya berkali-kali ditanya soal alamat. Alamat saya tinggal di India dianggap bermasalah karena menulisnya tidak lengkap. Karena koneksi internet mati jadi saya susah mencarinya. Convo-nya sudah kelelep jadi tidak bisa dicari. Mau texting lagi tapi kan gak ada signal. Akhirnya saya disuruh balik lagi untuk memberikan alamat yang proper, sekaligus nama dan kontak orang India yang akan menjemput. Saya tidak diizinkan masuk tanpa melengkapi data tersebut.

Kemudian saya mulai membanding-bandingkan dengan Changi. Di Singapore walaupun aturannya ketat tapi petugasnya tetap ramah. Saya tidak menulis lengkap karena formnya memang tidak muat. Tapi alamatnya memang benar. Duh, apa mungkin karena untuk pertama kali jadi lumayan dipersulit?

Bertemu Pak Dharsono

Saat kembali ke ruang pengisian form, saya mencoba mengaktifkan wifi dan BERHASIL. Seperti menemukan oase di padang pasir. Ternyata internet adalah segalanya. Saya aktifkan m-banking dan mengisi pulsa. Pulsa saya habis waktu di Singapore karena berusaha menelepon Pak Dharsono (meski akhirnya tetap tidak bertemu). AKhirnya saya bisa menghunubgi teman saya di India dan dia pun memberikan alamat lengkap via whatsapp.

Tiba-tiba ada pria tua dengan wajah oriental menghampiri “Mbak, Fitri ya?”

Saya langsung bersemangat “Pak, Dharsono?”

Akhirnya kami bertemu!

Beliau kesulitan dalam mengisi form. Pak Dharsono sudah 70 tahun dan tidak bisa Bahasa inggris. Tapi alhamdulillah ada pegawai baik disana yang membantu mengisikan. Saya pun membantu Pak Dharsono untuk melengkapi formnya.

Semangat Terakhir, Perut Melilit

Setelah itu kembali melewati ke petugas imigrasi. Tapi yang tadi sudah kosong. Tinggal satu cube lagi dan berbeda petugas dengan di awal. Entah ini lebih ramah atau malah lebih parah?

Saya yang penumpang terakhir yang tersisa.

Jantung berdegup. Saya takut prosesnya akan sulit seperti yang pertama. Teryata…

Banyak pertanyaan yang saya hadapi.

Pekerjaan, Jumlah anak, tujuan ke sana, tinggal di mana, siapa teman saya di sana, apa kegiatan yang saya lakukan, dll. Pertanyaannya sudah ke arah…. Ngobrol.

Mungkin karena saya yang terakhir maka mereka merasa lebih santai. Mungkin maksud mereka baik, biar saya lebih santai. Tapi mereka salah waktu. Semakin lama di sana, saya semakin tegang. Tanpa mereka ketahui asam lambung saya sudah naik. Saya merasa sakit sekali di bagian perut. Belum lagi rasa lelah. Mereka mungkin tidak tahu juga saya dari rumah di Indonesia pagi sekali dan harus transit lama di Singapore. Dan ini sudah dini hari.

Fitri? Your name like Indonesian name?

Kata petugasnya yang duduk di sebelah petugas yang seharusnya mewawancarai saya. Saya katakan memang dari Indonesia. Lalu dia curhat kalau suka menggunakan obat dari Indonesia yang namanya…

lupa. Saya yang lupa dan memang tidak berniat mengingatnya.

Pikiran saya sudah penuh benang kusut. Tidak sanggup menguraikan pertanyaan demi pertanyaan. Sementara teman saya yang dari India sudah menelpon berkali-kali. Yang menjemput pun sudah mengirim sms. Tapi saya tidak boleh mengangkat telepon saat wawancara. Muka terasa kaku, tangan terasa dingin, dan perut seperti ditusuk-tusuk.

Akhirnya…

Lolos.

“Yess!” masih sempat buat saya untuk bilang itu. Seperti melalui siding skripsi. Terasa legaaa…

Mau nangis juga. Saya kok seperti dianggap teroris. Perasaan muka kemayu begini. Apalagi saya sendirian. Trus kemana Pak Dharsono?

Teman saya menelpon katanya Pak Dharsono sudah keluar dari tadi. Mau tau gak apa yang membuat Pak Dharsono lebih cepat?

Dia tidak Bahasa Inggris. Jadi langsung disuruh masuk. Oke.

Yang penting semua selamat. 🙂

(bersambung)

Selanjutnya: “Kehidupan Ashram Sadhana Dhama, Bagai Pesantren!”

#IndiaTrip Part 1: 10 Jam bertahan hidup di Changi

DSC07217-01(1)

Hari ini saya pertama kali ke India. Dengan maskapai low cost, saya pun  berhasil mendapat tiket PP Indonesia-Bangalore sebesar  5 juta rupiah saja. Syaratnya hanya satu: transit di Changi Airport selama 10 jam. Saya mendapat penerbangan dari Jakarta pukul 09.55. Karena rumah di Bekasi dan berada pada hari kerja, jam 5.15 pagi sudah pergi dari rumah. Saya bukan traveller seperti Arievrahman yang mungkin sudah khatam berpergian sendiri ke mana saja. Dan perlu saya akui inilah pertama kali pergi yang agak jauhan sendirian. Terlebih bagasi dari Changi ke Bangalore tidak pindah secara otomatis, jadi harus dipindahkan manual saat check-in. huft..

Karena untuk mengambil koper harus keluar dulu, jadinya ya gak bisa bebas jalan-jalan di duty-free area yang free wifi itu. Ruang gerak terbatas karena koper yang saya bawa. Ketika itu belum kepikiran dititipin. Ternyata hanya 4 SGD saja!

Untuk dapat bertahan hidup selam 10 jam di Changi, inilah yang saya lakukan:

  1. Mencari wifi

Era sekarang internet merupakan kebutuhan primer. Minimal jika ada wifi saya bisa texting suami atau teman untuk memberi kabar. Alhamdulillah masih ada yang nyariin. Sekalian bisa ditanya-tanya “What should I do?” karena saya bagai burung kutilang yang lupa pada rumahnya.

Karena saya wanita mandiri yang agak pelit, maka data roaming sengaja saya matikan. Dengan internet juga bisa bertanya APA SAJA pada Pak Google.

“Bagaimana cara mengambil uang via atm di luar negeri?”

“Pertolongan darurat saat sakit gigi kambuh dalam perjalanan”

Sebagai bandara international, Changi ini oke banget. Toilet bersih dan untuk mendapat akses wifi juga mudah. Tinggal nyalakan wifi dan pilih “#WiFi@Changi”. Pilihannya bisa via sms (dengan syarat data roaming diaktifkan dulu) atau via scan password. Saya memilih yang kedua. Setelah scan password maka kode password akan keluar di layar dan bisa kita input  saat login wifi di smartphone kita. Sayangnya jika sudah ke luar area putus lagi.

Ya iyalah!

  1. Membuka jasa foto

Baru duduk sebentar tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang meminta saya mengambilkan gambar pada kamera poketnya. Beliau mengaku dari Aussie. Entah karena saya terlihat ramah atau ibu-ibu memang suka difoto, saya mengambil foto pada beberapa spot berbeda.

Setelah itu ada wanita asal Indonesia yang juga minta difotoin. Wah, mungkin saya memang berbakat jadi fotografer!

Fitri Tasfiah-1

Dan saya pun ikutan minta fotoin!

DSC07208

  1. Tukar uang

Membawa uang cash terlalu banyak sangat beresiko. Jadi lebih baik ambil uang tunai saat di negara tujuan. Sejujurnya memang saya gak prepare uang SGD ini sih hehe..

Dengan bantuan google, saya mencoba mencari tahu cara menukar uang SGD yang praktis. Ternyata tinggal ambil di mesin atm apa saja yang berlogo Cirrus.

Ceritanya gak simple ini sih. Jadi karena sudah jam makan siang dan jam minum obat maka badan lumayan sudah lemas. Apalagi belum makan sejak pagi.

Karena saya bukan pemegang kartu kredit, jadi benar-benar harus memegang uang tunai. Sedangkan saya hanya membawa USD. Karena telat minum obat maka nyeri di gusi saya kambuh dan sakit banget!

Untuk minum obat maka saya perlu membeli minum dan mengisi perut dulu. Untuk dapat membeli minum dan mengisi perut maka saya perlu uang tunai segera.

Saat mencoba ambil uang di atm dengan kondisi badan yang sudah lemah letih lesu, ternyata gagal. Karena lokasi atm di luar jangkauan wifi maka saya harus memasuki area yang masih terjangkau wifi untuk kembali bertanya kepada Pak Google. Ternyata ada yang salah saat saya menekan tombol pilihan pada layar.

Jadi begini. Pertama masukkan kode pin. Kemudian pilih withdrawal, selanjutnya klik saving. Nah tinggal pilih mau pakai bukti pembayaran atau engga.

  1. Cari Makan

Sumber energi manusia adalah makanan. Tanpa makanan maka akan lemas. Saya memilih café yang ada paling dekat dengan saya saat itu. Tanpa berpikir panjang saya memesan “Chicken Rendang”. Jangan mengharapkan rendang di Singapura akan sama dengan rendang di Indonesia. Beda. Gak ada rasa pedas sama sekali. Seperti ayam dengan bumbu kare. Karena saat itu lapar jadi tetap saya katakan: enak.

IMG-20160308-WA0014

Karena sudah makan makan, saya segera minum pain killer yang memang saya bawa dari rumah. Sayangnya reaksinya lumayan lama. Ugh!

  1. Mencari Pak Darsono

Pak Darsono adalah yang ikut untuk perjalanan YTT Yoga Terapi bersama saya juga. Usianya sudah 70 tahun dan saya pun belum pernah bertemu beliau. Yang saya tahu beliau senior yang sudah berlatih yoga sejak tahun 70-an. Pasti ilmu yoganya sudah sangat banyak. Dengan mengabaikan biaya telepon roaming, saya berusaha menghubungi Pak Darsono ini. Karena Changi luas maka hingga detik saya menulis ini belum bertemu beliau juga.

DSC07665-01
Pak Dharsono, 70 tahun. Ternyata ini..

6. Mencari Coffeeshop terdekat dengan lokasi Check-in

Ini agak lebay karena jarak waktu antara saya sampai coffeshop dan check in ada sekitar 5 jam. Tapi tempat mana lagi yang bisa duduk berlama-lama sambil meminum kopi?

Ya Coffee Shop.

DSC_2469-01

  1. Ke toilet

Selama di airport sudah dua kali saya setor harian. Pertama di bandara Soekarno-Hatta, kedua ya di Changi ini. Dan selalu setelah menenggak greentea latte.

  1. Belanja

Bohong. Saya gak kuat jalan-jalan sambil membawa koper. Apalagi efek kerja pain killer belum terasa.

  1. Belum ada lagi

Ini masih pukul 17.33

…dan baru bisa check-in katanya sekitar jam 19.00. Oh, iya flight saya jam 22.45.

You’re welcome.

DSC_2467

(bersambung)

Selanjutnya: “Drama di Bandara Bangalore, Nyaris Nangis”