Seandainya saya dapat menemukan buku diari 16 tahun yang lalu. Saat itu saya sedang puber-pubernya. Saya yang bukan anak remaja yang hobi menulis buku diari tetapi kali itu saya menuliskan sesuatu:
“Aku ingin dipeluk Mama.”
Romantis. Juga bisa dalam hubungan ibu dan anak. Saya juga mau diperlakukan romantis sama mamanya. Walaupun dibesarkan Mama, tapi kayanya ga banyak kenangan masa kecil yang istimewa. Rasanya saya sulit menemukan kenangan-kenangan seperti disuapi atau digendong Mama. Lebih banyak rekaman tentang Papa yang biarpun sangat tegas, tetapi ada memori yang akan terekam abadi seperti saat papa menggendong saya dari belakang.
Sekarang ini sedang pusing-pusingnya menghadapi anak SD. Farrel, anak pertama yang luar biasa manja dan pandai membuat isi kepala mamanya seperti halilintar. Usia 8 tahun tapi belum bisa membereskan buku sendiri. Belajar juga masih harus didampingi. Kayanya saya orangtua yang paling sering wasapin gurunya Farrel sekadar untuk nanyain “Miss, besok ada PR ga?”
Suatu waktu saya mendengar nasehat mama ke Farrel, waktu saya sedang kesal-kesalnya. Begini kira-kira:
“Farrel, kamu harus kaya Mami. Mami masih kecil pintar di sekolah. Mami ga pernah nyusahin Oma. Pergi sekolah sendiri, belajar sendiri, beresin buku sendiri. Mami dari kecil udah mandiri.”
Duh.. aku nulis ini aja mata bisa langsung basah. Gak ngira mamaku punya memori seperti ini tentang aku. Aku kira mama gak inget dengan hal-hal kaya gitu.
Tapi memang semenjak menjalani sendiri kehidupan menjadi seorang ibu, sosok Mama di mata saya banyak berubah. Saya jadi tau memang menjadi ibu itu berat. Saya aja yang baru punya dua anak sudah banyak ngeluhnya, apalagi mama yang usia 30 tahun sudah memiliki 4 anak dengan jarak yang lumayan dekat. Pasti berat.
Dua kali melahirkan dan dua-duanya didampingi mama. Waktu pertama kali merasakan mau melahirkan saya meminta maaf ke mama. Itu dalam keadaan yang sudah mules luar biasa karena kontraksi. Bukan hanya mendampingi, tetapi yang pertama kali menemani saya buang air kecil saat setelah melahirkan, memandikan, menggantikan pembalut, hingga mencuci darah saya.
Mama memang bukan tipe orangtua yang romantis. Tidak pernah memberi kado atau merayakan ulangtahun buat saya. Tapi Mama mengajarkan Farrel untuk menjadi anak yang romantis untuk mamanya. Di hari ibu kemarin Mama menemani Farrel membeli hadiah dalam rangka “hari ibu”.
“Mami pasti suka ini.” Kata anak lelaki yang sehari sebelumnya kena omelan mamanya.
Reaksi spontan ketika dikasih tahu kalau di tempat yang saya kunjungi ada tradisi kawin culik. Jadi kalau mau ngelamar anak gadis ya harus diculik. Loh, kok gak dilamar dulu sih?
“Kalau dilamar justru dianggap penghinaan. Meminang membuat anak mereka diperlakukan seperti barang.” Kata pemandu yang menemani saya di Desa Sade. Duh, kok makin blunder ya…
Mas Pemandu (sebut saja itu karena saya lupa tanya namanya) berkata kalau penculikan ini memang salah satu tradisi adat, jadi bukan hal yang aneh. Karena merupakan suatu tradisi jadi tidak dijalani secara sembarangan. Tetap ada prosedurnya yang sudah disepakati masyarakat adat. Unik banget ya!
Siang hari yang tidak terik saya berada dalam perjalanan menuju Tanjung Aan. Saya baru saja menyelesaikan Half Marathon di Lombok Marathon yang start di Senggigi dan finish di Mataram dengan jarak 21Km. Memang rencana hari itu hijrah dari Mataram yang merupakan pusat kota ke sekitar pantai Kuta yang lebih tenang dengan keindahan alam yang memanjakan mata. Desa Sade terletak di Lombok Tengah, Nusa Tengggara Barat. Dari Mataram sekitar 2 jam, tetapi tidak terlalu lelah karena saya mampir-mampir untuk kulineran. Kalau dari Bandara sebenarnya lebih dekat lagi. Hanya sekitar 20-30 menit.
Supir yang menemani saya selama di Lombok secara impulsif bikin saya ‘nyasar’ di Desa Sade. Di tempat yang lumayan ramai dengan jalan aspal ada suatu desa yang dalamnya masih melestarikan keasliannya. Rumah dengan atap ijuk dan dinding anyaman bambu. Biarpun akses ke sana sudah aspal tetapi saat sudah memasuki desa itu jalannya masih tanah.
Budaya Sasak seperti ‘kawin culik’ juga masih berlaku. Desa yang masih memegang keaslian adat dan budaya Suku Sasak kuno memang sudah menjadi Desa Wisata sejak tahun 1972. Saya tidak tahu waktu percisnya karena Mas Pemandu hanya mengatakan sekitar tahun itu.
MEMBERSIHKAN LANTAI DENGAN KOTORAN KERBAU
Sambil dipandu saya memasuki salah satu rumah penduduk. Alasnya hanya dengan lapisan semen. Jadi lantainya ini dibersihkan dengan kotoran kerbau.
Pasti saat tahu dari kotoran kerbau pada menduga rumahnya sangat bau. GAK BAU SAMA SEKALI!
Malahan rumahnya lumayan sejuk. Mungkin pengaruh cahaya yang minim juga ya. Kotoran kerbau dipercaya membuat lantai licin, awet, hangat, dan tidak ada nyamuk. Bisa ditebak kan mereka pasti masih tidur di lantai makanya tiga hal tersebut sangat penting untuk kenyamanan tempat tinggal. Pas saya mampir sih memang tidak melihat ada kasur, meja, dan kursi.
ANAK GADIS TIDAK BOLEH MENIKAH KALAU BELUM PANDAI MENENUN
Di Desa Sasak anak perempuan dari usia 9 tahun sudah diajarkan menenun. Selain bertani, menenun adalah kegiatan sehari-hari perempuan di sana. Jika belum mahir dalam menenun belum boleh untuk menikah.
“Yah.. nikah kan masih lama ya?” pikir saya dalam hati. Maksudnya jika dibandingkan dengan usia 9 tahun sudah belajar ya pasti 22 tahun mah udah jago banget.
Tapi ternyata ini salah. Usia rata-rata siap nikah di tempat kita berbeda dengan di sana. Usia 19 tahun belum menikah sudah dianggap perawan atau bujangan tua. Buat kamu yang sedang membaca ini dan belum menikah, yang tabah ya…
KAWIN CULIK BUKAN KEJAHATAN
Seperti yang saya jelaskan di awal-awal tradisi ‘kawin culik’ ini memang ada prosedurnya. Gak semata-mata main culik aja. Si lelaki sudah menyepakati tanggal penculikan dengan calon pengantin wanitanya. Setelah diculik di bawa ke tempat tinggal ke suatu tempat, misalnya ke gunung atau tempat lain di luar lingkungan mereka (biasanya kerabat laki-laki). Kemudian HARUS mengabarkan ke kerabat supaya keluarga wanita tau kalau anak gadisnya ini sudah ‘diculik’.
Kalau keluarga calon pengantin wanita sudah tahu anaknya ini baru saja diculik, mereka langsung lapor ke lembaga adat setempat. Setelah itu baru tuh ada rembukan antara keluarga pria dan wanita untuk saling mengenal. Hampir sama kaya acara lamaran sih ya. Mengenalkan kedua keluarga dan membicarakan persiapan lebih detil seperti menentukan tanggal dan sebagainya. Kalau di sana disebutnya ‘Nyelabar’ atau ‘Masejatik’.
Tradisi ini merupakan tradisi turun menurun Suku Sasak. Mungkin kejantanan calon pengantin pria diuji dengan keberhasilan dia menculik. Minimal ada usaha, gak cuma main lamar terus bisa nikahin anak gadis orang. Berdasarkan cerita turun menurun sih zaman kerajaan dulu setiap pangeran mau melamar putri raja harus melewati tantangan, yaitu menembus ruangan yang dijaga ketat untuk bisa bertemu putri.
Saya mikirnya kalau di era sekarang kayanya agak susah ya nerapin tradisi begini. Saat menjelang malam penculikan si calon pengantin perempuannya update status di path atau twitter. Semua orang jadi tau kalau mau diculik. Terus secret admirer yang bertahun-tahun suka sama si wanitanya gak mau kalah. Dia berusaha buat menggalkan itu posesi penculikan.
Gagal deh!
Tapi saya beruntung bisa ‘nyasar’ di Desa Sade. Saya kira Lombok hanya untuk wisata pantai yang aduhai. Ternyata sisi budayanya juga sangat menarik. GAK NYESEL BANGET KE SINI!
Suara dari sebelah saya ketika pesawat berhasil mendarat di Bandar Udara International Lombok. Saat gate pesawat di buka saya pun bergegas keluar dengan menggeret koper kecil yang warnanya selaras dengan kaos yangs edang saya pakai. Di pintu kedatangan sudah ada bapak Heri dari pihak Travel yang bekerja sama dengan Lombok Marathon. Saya pun dikalungi selendang dari kain tenun khas Lombok sebagai tanda selamat datang. Pokonya is ti me wa!
Pulau Lombok menyambut manusia yang beru pertama kali ini menginjakan kaki di sana dengan hujan yang cukup deras. Saya pun menaiki mobil Avanza silver yang akan mengantarkan ke hotel di wilayah Mataram. Sambil memandangi ke arah jendela saya menjelajah satu persatu isi kota. Biarpun banyak juga yang terlewat karena perut mulai terancam kelaparan dan menagih alam taliwang. Kemudian mata mengarah ke arah satu bangunan berupa tugu yang berbentuk masjid. Meskipun hujan ada beberapa wisatawan yang mengambil gambar di tugu tersebut.
“Itu adalah simbol bahwa Lombok pulau seribu masjid.” Kata Edi, supir yang mengantarkan saya di sana. Jadi nanti saya akan berlari di daerah yang kaya akan bangunan masjid. Kalau sampai lupa salat sih ya ter la lu!
Dari penampakannya Edi ini dia masih lumayan muda. Edi ini bisa sekaligus menjadi tour guide. Sambil menyetir dia menceritakan budaya yang menjadi ciri khas Lombok. Tapi saya lapar mas. Boleh kita buruan ke tempat makan?
THE DAY OF LOMBOK MARATHON
Alarm 2.20 pagi hari sudah berbunyi. Dengan tubuh yang masih memiliki magnet kuat terhadap kasur saya pun agak malas-malasan untuk melepaskan selimut. Kelopak mata masih terasa lengket seperti pasangan yang baru satu bulan jadian. Tapi karena shuttle yang mengantarkan ke Senggigi maksimal pukul 3 pagi maka mau tidak mau saya mengakhiri mesra-mesraan dengan kasur.
Untuk pelari dengan jarak 42km dan 21km start di Senggigi. Pukul 3.30 waktu Indonesai Bagian Barat saya dan rombongan yang menaiki shuttle telah sampai. Masih bingung mencari-cari di mana garis start.
Ternyata…
Gerbang startnya baru mau dibuat!
Jadi karena posisi di jalan utama maka untuk membuat gerbang start menunggu jalanan telah steril. Karena masih lama mulainya maka saya pun memilih pemanasan dan berkali-kali buang air kecil. Penyakit langganan tiap mau race: beseran.
Setelah bolak balik lari-lari kecil akhirnya kawan lari dari Run For Indonesia sampai. Suasana yang sebelumnya sunyi jadi ramai. Ketauan deh ini biangnya rame di setiap ajang lomba lari. Pokonya pantang mulai sebelum PB alias banyak photo.
And the race is begin
5..4..3..2..1..
Go!
Saya mulai menggerakan kaki perlahan. Beneran pelan. Karena gebangnya sempit jadi saya dan beberapa pelari lain memulai lari dengan berjalan. Beda dengan race di Jakarta yang justru saat start adalah saat menacap gas secepat mungkin. Peserta tidak terlalu banyak tetapi cukup untuk event yang baru pertama kali digelar. Cuaca teduh menambah rasa santai.
Sehari sebelumnya Lombok hujan lumayan lama jadi cuaca pagi lumayan teduh. Ini yang membuat saya pun berat meninggalkan Kasur. Tapi kan ke Lombok mau lari!
Dari pelan semakin cepat dan semakin cepat lagi sampai target pace tercapai. Berusaha tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Kaki baru panas tiba-tiba berhadapan dengan tanjakan.
“Masya Alloh!”
Saya menelan ludah dan menguatkan lagi nyali. Akhirnya dari mulai lumayan cepat mulai melambat dan semakin lambat dan lambat banget.
“Ayo terus lari! Baru tanjakan pertama!”
Ada suara yang menegur. Siapa sih yang berani negur-negur?
Ricky. Pacer pribadi ceritanya. Lupa kalau buat Lombok marathon ini dia mau jadi volunteer biar saya dapet PB (Personal Best). Antara seneng sama ngeri sih. Kalau cape gak bisa seenaknya jalan karena pasti ada yang bawelin. Enaknya ya jadi ikutan ketarik. Serba salah emang.
Di fitnah jadi atlet
Tekad saya di race ini adalah berlari santai tapi ya gak santai-santai banget. Tapi lama-lama mulai meninggalkan rombongan yang lari bareng di awal-awal. Gayabet.
Lama-lama semakin semangat dan tanpa terasa larinya agak serius dikit. Niatnya kan mau lari santai sambil foto-foto. Tapi pas udah lari jadi agak sayang juga kalau banyak berhenti.
Beberapa kali berpapasan dengan teman yang mengambil full marathon. Sapa-sapaan tapi tetap berlari. Yang penting saling memberi semangat.
Sampai di kilometer 6 ada pria tinggi dan berkepala gundul menyapa “Mbak atlet ya?”
Karena takut salah dengar saya pun memberi ekspresi yang meminta dia mengulang lagi perkataannya. Ternyata benar dia menanyakan apakah saya atlet.
“Bukan lah mas. Saya pelari hore.” Jawab saya agak sedikit ngakak. Tapi ngakak yang sedikit ngos-ngosan. Saya melihat jam dan sudah di km 6 dengan pace 6.30. Kemudian dia bertanya lagi “Larinya kok cepet?”
Agak tersanjung gimana gitu. Memang pada saat itu tidak ada yang di depan saya. Ada sih tapi udah jauh banget di depan sampai gak keliatan haha..
Karena pesertanya sedikit jadi memang jarak pelari satu dan pelari lainnya lumayan jauh. Yang ada di kanan kiri saya rata-rata cowok. Beda dengan race half marathon saya seminggu sebelumnya di 2XU Compression Run Jakarta yang pesertanya sangat banyak dan kompetitif. Kalau di Jakarta pace segitu saya udah diasepin banyak pelari saking lambatya.
Ternyata pria tersebut warga asli Lombok. Saya ketahui setelah saya membalas pertanyaan dia yang menanyakan saya bersasal dari mana. Kami pun akhirnya ngobrol. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan dia karna kalau banyak ngobrol kapan sampenya?
Maap ya, Mas.
Masyarakat turut menyemangati pelari
Menyenangkan jika mengikuti race di suatu daerah dan penduduknya ikut mendukung. Lombok Marathon ini baru pertama kali digelar tahun ini. Tetapi dukungan pemerintah kuat karena menjadi materi wisata kota Lombok. Bahkan Bapak Zainul Majni yang merupakan Gubernur Nusa Tenggara Barat mengikuti ajang lomba lari ini dengan kategori half marathon.
Di bawah pukul 6 banyak masyarakat yang baru keluar dari masjid selepas subuhan turut menonton peserta lari Lombok Maratjon. “Ayo semangat!” hingga yel yel “In do ne sia!” menyambut para pelari yang melintas di jalanan. Bahkan kami pun diberi air mineral kemasan oleh para supporter.
Bukan hanya yel yel saja, tetapi beberapa pelajar memainkan mini drum band di tepi jalan untuk memeriahkan ajang lomba lari ini. Semakin siang memang semakin banyak jarak yang sudah ditempuh, semakin lelah juga kaki melangkah, tetapi semakin ramai penduduk yang meramaikan. Meskipun tidak semuanya berteriak memberi semangat, ada pula yang hanya foto-foto dan menonton. Tetapi membuat Lombok Marathon jadi meriah dan ramai.
Pada kilometer 14 saya sudah merasa lumayan lelah tapi tekad untuk lekas finish masih kuat. Apalagi di depan Epicentrum Mall ada anak-anak yang mengibarkan bendera merah putih dan mengajak tos para pelari. Lumayan bikin senyum.
Di tengah semangat yang mulai naik lagi saya mulai merasakan signal gak enak di pangkal paha kiri. Duh.. jangan sampai kram..
Meski mulai melambat tetapi saya tetap melanjutkan lari.
“Keep on the track! Kamu bisa under 2.30.” Kata Kak Pacer yang dari awal menemani lari. Bukan nemenin banget sih, tapi dia ada di depan. Kadang kajauhan di depannya. Pas tau saya masih jauh di belakang dia mulai melambat, bahkan lambat banget kalau versinya dia. Memang susah ya kalau pelari pace 4 harus nemenin lari pace keong.
Sampai di kilometer 15 saya masih bertahan lari tanpa jalan. Kecuali pas lari minum di WS ya. Signal di pangkal paha kiri semakin kuat tetapi saya tetap memaksakan berlari. Sampai akhirnya…
Kram!
Saat kram kaki lumayan aduh banget larinya. Saya pun terkeos-keos dan semakin keos. Jalan. Ya.. saya mulai jalan. Saat jalan terasa semakin nyeri. Tapi mau lari juga udah gak sanggup banget.
“Keep running!” kata kak Pacer. Nyebelin banget ya pas udah sakit banget masih harus disuruh tetep lari. Kartanya tinggal 3 kilo lari. Seakan-akan cuma dia yang pake sportwatch.
EMPAT KILO LAGI PAAAAK!
Semakin dekat semakin berat
Jarak yang harusnya dekat dengan garis finish tetapi seperti jarak neraka bagi saya. Kaki semakin susah diangkat. Bahkan sempat gak bisa diangkat sama sekali. Kram semakin parah. Bahkan orang-orang yang menonton pada tau saya kram hanya melihat cara saya berjalan dan berlari: pincang.
Kepanikan muncul ketika saya tidak bisa mengangkat paha kiri. Lalu gimana saya bisa lari?
Saya harus mengambil ancang-ancang beberapa kali hingga akhirnya paha kiri bisa diangkat. Seperti roda, ketika sudah berguling maka dia bisa berjalan sendiri. Tetapi jika belum ada yang mendorong, dia pun tidak akan bergerak.
Dua kilo lagi. Saya berada di depan Masjid Islamic Center Mataram. Masjid dengan bagunan yang besar dan warna yang menarik mata. Saya sempat melihat malam sebelumnya. Masjid itu terlihat lebih indah di malah hari karena ada lampu-lampu yang membuatnya tampak lebih menarik.
Ironisnya di depan masjid yang indah saya justru sedang sangat tersiksa. Lari terpincang-pincang sedangkan jarak garis finish masih 2 kilo lagi. Jarak dekat jika membandingkan dengan 21km, tetapi jarak jauh jika kondisi berlarinya seperti anak satu tahun yang baru belajar berjalan.
“Ayo 500 meter lagi!” kata Kak Pacer yang kayanya makin gemes sama saya yang makin kesini makin lambat sampai gak sampe-sampe garis finish. Saya pun semakin gemes sama dia sampai rasanya mau melempar botol air kemasan yang saya pegang sepanjang lari. NAMANYA JUGA SAKIT SIH KAK!
Semakin dekat.
Semakin dekat.
Semakin dekat.
Finish!
And the games is over..
Urutan ke 13 kategori half marathon female. Wah, kayanya ini pertama kalinya sampai di angka ini. Terharu. Kalau race di Jakarta kayanya gak mungkin bisa segitu. Catatan waktu juga masih sama dengan race sebelumnya.
Tapi ada rasa bangga saat kita menyelesaikan sesuatu berdasarkan full effort. Apapaun hasilnya itulah hasil usaha maksimal yang saya mampu. Dengan kondisi kram mendadak di 4 kilometer terakhir. Terima kasih Kak Pacer dan terima kasih penduduk setempat yang udah ngasih semangat. Sampai jumpa di Lombok Marathon 2017!