Pukul 00.00 dini hari, saya dan teman-teman #brikpiknik memulai perjalanan ke Bromo dari Batu. Saat naik ke bus, terasa hembusan angin yang membuat nyali saya sedikit kisut untuk menempuh tujuan yang akan dituju. Sebelumnya kami dibrief bahwa suhu udara di Bromo sekitar 10-15 drajat celcius. Bahkan bisa di bawah itu. Untuk orang yang tidak pernah pergi ke Bromo, pikiran jadi gak karuan. Banyak sekali pemikiran seperti “Bagaimana kalau saya kedinginan dan mulai beku, lalu gak bisa ngapa-ngapain?”. Karena bayang-bayang itu pun outfit lebih dipersiapkan, seperti jaket tebal, syal, masker, dan sarung tangan.
Persiapan fisik dimulai dengan tidur. Rata-rata rombongan #brikpiknik belum tidur pada malam itu, kecuali saya yang menyempatkan tidur walaupun hanya dua jam. Pukul 03.00 akhirnya kami sampai. Saya sendiri jadi gugup, ditambah keinginan untuk buang air kecil. Karena tidak ada toilet, terpaksa harus melanjutkan perjalanan ke lokasi dengan menahan hasrat itu. Kendaraannya cukup “bersahabat” untuk orang yang ingin pipis: Jip!
Ternyata perjalanan dengan menggunakan jip ini tidak sesingkat yang saya kira. Setelah berkelok-kelok, pas mendekati lokasi ternyata macet. Dengan mata yang terus terjaga akhirnya kami sampai di Tempat Wisata Bromo. Waktu yang ditunjukkan jam saya kala itu adalah 04.30. Saya menatap langit dan ternyata seperti dunia dongeng. Taburan bintang yang banyak sekali di langit yang hitam dan luas. arang sekali mendapati pemandangan seperti ini dalam kehidupan sehari-hari. Firasat pun mengatakan: Saya akan gagal move on!
Menikmati Sunrise di Penanjakan Dua
Karena kondisi macet maka kami ditempatkan di Penanjakan 2. Walaupun tidak sepopuler Penanjakan 1 tetapi tidak turun semangat. Ini adalah pengalaman pertama dalam seumur hidup ke Bromo. Apalagi Bromo merupakan salah satu tempat yang masuk ke dalam wishlist saya. Dalam keadaan gelap kami berupaya untuk dapat mendaki ke atas . Tekstur tanah yang licin membuat kami harus lebih hati-hati agar tidak terpeleset. Karena suhu dingin dan memakai masker, napas pun sedikit sesak. Di sana ternyata sudah banyak orang yang berkumpul menunggu sunrise. Semakin tinggi semakin ramai.
Sayang sekali saya tidak membawa kamera yang memadai untuk bisa mengabadikan pemandangan langit yang cantik itu. Saya mencoba mengandalkan teman, karena sudah hilang harapan pada diri sendiri. Kebetulan waktu itu bersama @viganunu, dan ternyata dia pun tidak mebawa kamera. Katanya, “Esensi ke Bromo adalah untuk menikmati langit secara langung, kalau foto mah bisa kita ambil di google image” dan beneran dong, dia ambil foto bintang di google image dan diposting di path. Kebetulan sekali banyak yang percaya dan memberi “love”. Pelajaran yang saya ambil di kala itu adalah: jangan percaya teman!
Akhirnya langit mulai terang dan memercikkan kejinggaan sebagai pertanda matahari mulai muncul. Lumayan sulit mendapat foto yang jelas karena hanya mengandalkan kamera smartphone, yang tentunya agak sulit mendapat gambar melawan cahaya di tempat yang gelap. Yang kami dapat lakukan adalah hanya menikmati dan menghibur diri. Tetapi memang terhibur. Melihat sunrise di Bromo seperti barang mewah yang belum tentu dapat dinikmati sebulan sekali. Tidak seperti saya, teman-teman yang lain memang prepared untuk mengabadikan sunrise. Bahkan ada yang berhasil membuat video timelapse.
Setelah langit sedikit terang, ternyata kami masih bisa selfie dengan latar yang luar biasa cantiknya. Dan sempat juga beberapa kali difoto @ndorokakung. Kapan lagi bisa foto di Bromo yang sedang cantik-cantiknya? Aduh, tanda-tanda gagal move on mulai muncul!
Menikmati Kopi dan Mie Instant
Menikmati kopi dan mie instant adalah hal biasa. Akan tetapi menjadi luar biasa jika itu di Bromo. Saya, @ndorokakung, @viganunu, dan @pzzyy menikmati kopi untuk melengkapi obrolan kami yang tidak terlalu penting tapi berarti. Rasa lelah setelah menanjak dan akhirnya harus turun lagi ditambah cuaca yang dingin, membuat badan menagih sesuatu yang hangat dan lezat. Sepertinya pagi di Bromo adalah asal muasal kopi dan mie instant diciptakan. Sayang sekali fotonya terhapus jadi tidak bisa dipamerkan di sini dan gagal membuat pembaca menelan air liur. Tetapi kami masih sempat mengabadikan kenangan yang lain: Sepatu Dekil. Dengan ini saya telah sah menjadi anak gunung!
Menapaki Padang Pasir Menuju Kawah Bromo
Dari Penanjakan 2, kami pun naik jip lagi mendekati Kawah Bromo. Karena matahari mulai menanjak naik, langit pun terasa lebih terik. Panas dan berangin di tempat yang penuh pasir tentunya yang dibutuhkan adalah masker dan kacamata. Jaket sudah tidak diperlukan, akan tetapi jika kamu orang yang takut kulitnya terbakar matahari dan terhembus debu pasir sebaiknya tetap memakai jaket.
Di sana terdapat kuda yang disewakan untuk menanjak naik menyusuri pasir mendekati tangga menuju Kawah Bromo, tentunya bersama pawang kudanya. Harga sekali jalan 100.000 rupiah. Selain kuda sebenarnya ada motor trail yang disewakan 200.000 rupiah. Akan tetapi saya lebih suka menaiki kuda, agar perjalananannya lebih lambat dan bisa lebih dinikmati. Memanfaatkan usia muda dan tenggang rasa yang tinggi terhadap kuda, maka saya, om @IDBerry, @Idh4m, dan @Miss7Sins melanjutkan perjalanan yang masih setengahnya menuju tangga ke Kawah Bromo dengan berjalan kaki. Merasa stamina masih kuat, maka kami pun berjalan kaki berusaha mendekati tangga ke Kawah Bromo. Alhamdulillah kira-kira sejauh 10 meter kami sudah memutuskan melipir untuk mengambil konten. Apakah setelah itu lanjut untuk berjalan kaki ke Kawah?
Tidak.
Saya mengambil kesempatan untuk mengabadikan diri dengan latar Bukit Teletubbies. Dibantu @idh4m yang menjadi fotografer, sesi foto-foto pun di mulai. Yoga di Bromo lumayan menantang. Dengan kondisi jalan yang berpasir dan penuh angin tentunya terasa lebih licin untuk melakukan gerakkan yoga. Jika jatuh pun tetap tidak mencederai karena alasnya pasir. Jika saya sudah melakukan yoga, berarti telah jatuh cinta pada tempat itu. Saya tidak ingin melewatkan menikmati keindahan Bromo dengan Yoga. Selamat susah move on untuk diri sendiri!
Berpisah dengan Bromo di Pasir Berbisik
Setelah puas berjalan, makan baso malang, dan foto-foto, kami pun kembali ke jip dan menuju Pasir Berbisik. Tidak jauh dari venue sebelumnya. Ini adalah sesi khusus untuk memuaskan hasrat berfoto. Karena memang tidak banyak yang bisa dilakukan selain berfoto. Bagi #brikpiknik setiap kesempatan adalah konten. Sebuah foto adalah akar dari pemicu segala rindu. Ditambah lagi ini adalah titik terakhir berwisata di Bromo. Ya, hingga pada saat saya menulis ini pun masih dalam keadaan gagal move on.
Sesungguhnya yang membuat suatu tempat menjadi begitu berkesan adalah kebersamaannya. Apalah arti suatu tempat jika kita merasa sepi. Kenangan di Bromo yang paling kuat melekat di ingatan. Satu hari di sana sepertinya akan menjadi salah satu moment yang akan terus diingat seumur hidup. Ya, saya telah gagal move on. Untuk memori indah di Bromo, move on menjadi suatu ketidakharusan. Namaste!