Tanggal 31 Januari kemarin, ada teman twitter saya yang bertanya pada saya bahwa temannya cedera saat melakukan gerakan yoga. Ini bukan kasus pertama. Sebelumnya saya sudah beberapa praktisi yoga yang sudah ahli mengalami cedera fisik. Apakah Yoga ini olahraga yang berbahaya?
Yoga merupakan latihan yang seharusnya aman dan menyehatkan. Akan tetapi setiap orang memiliki riwayat fisik yang berbeda-beda. Mungkin pernah mengalami cedera tertentu dan melakukan gerakan yoga yang berbenturan dengan cederanya tersebut. Untuk itu saya selalu menyarankan kepada para pemula agar latihan didampingi instruktur yoga agar dapat memilih latihan yang tepat sesuai dengan keadaan fisiknya. Selain itu juga kita harus menyadari limit tubuh sendiri. Saat kita latihan melebihi limit tubuh, yang terjadi justru akan merasa “stress”. Seharusnya olahraga menghasilkan perasaan yang bahagia, bukan sebaliknya. Sayangnya, sebagoan dari kita mungkin tidak menyadari bahwa sudah masuk ke lingkaran obsesi.
Sesungguhnya tubuh kita akan mengeluarkan signal saat latihan melampaui batasan. Untuk itu saat yoga atau latihan fisik lainnya seperti pilates, fitness, freeletic diperlukan focus yang tinggi pada tubuh sendiri. Setiap pergerakan pada tubuh harus disadari, dalam teknik bernapas sekalipun. Saat tubuh sudah mengeluarkan signal, sebaiknya berhenti. Saat sudah menjadi obsesi, signal-signal ini terabaikan.
Penyebab Obsesi
Sosial sudah membentuk pola bentuk tubuh ideal. Perut rata, paha dan lengan kencang, muka tirus. Selain itu juga wanita biasanya ingin terlihat awet muda. Karena memiliki tujuan biasanya terpacu untuk berlatih hingga tujuannya tercapai.
Selain tujuan di atas, saya ingin menambahkan sesuai kondisi saat ini. Di era sosial media ini banyak info yang kita ingin tahu hanya dengan sekali klik. Untuk yang menyukai yoga biasanya mencari foto-foto yoga yang menarik di Instagram (termasuk saya sendiri). Foto yang banyak di-likes biasanya yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi atau disebut challenge poses. Banyak dari kita yang tertantang untuk mencobanya. Saat berhasil maka kita pun ikut posting di sosial media. Siapa yang tidak senang jika postingan kita mendapat banyak “likes”? Rasa senang ini terkadang jadi bisa menjadi zat adiktif yang mebuat kita akan semakin mencobanya hal-hal yang menantang dan ternyata overdosis. Ini sudah menjadi obsesi.
Sehat atau Obsesi?
Exercise addicts lebih sulit didiagnosa dbandingkan dengan yang lain karena termasuk socially acceptable. Menurut Kerrie Kuntz, certified personal trainer di Livestrong mengatakan “Jika kamu berkomitmen, ini sehat. Jika kamu kompulsif, ini tidak sehat dan kamu memerlukan terapi.”.
Saya termasuk yang setiap hari berlatih. Untuk yoga sehari biasanya hanya satu jam, itu pun seminggu tiga kali. Sisanya hanya stretching dan sesekali freeletic. Dan minimal seminggu sekali memberi jeda untuk tubuh beristirahat tanpa latihat. Menurut yang saya baca di Livestrong, jika latihan fisik harian kita sudah mencapai dua hingga tiga jam per hari, parameter kita sudah irrasional. Mungkin karena sudah fanatik pada pembakaran kalori sehingga terus menerus berlatih hingga melebihi limit normal. Ini justru menyebabkan efek yang tidak baik bagi kesehatan. Bisa berdampak cedera fisik, terasa nyeri pada tubuh, dan bisa menimpulkan depresi.
Ini tidak hanya pada latihan yoga. Bisa juga pada latihan fisik lainnya, termasuk lari. Untuk latihan harian sebaiknya dibatasi hingga 5km. Jika melakukan hingga 20km per hari dianggap sudah melebihi limit, kecuali jika kamu memang atlet. Tubuh kita memerlukan jeda untuk recover dari aktivitas fisik. Olahraga yang seharusnya menyehatkan pun jadi berdampak sebaiknya jika limit-limitnya ditabrak.
Kembali lagi pada niat kita berolahraga, apakah untuk sehat?